Laman

Sabtu, 07 Januari 2012

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PPOK


A.      Konsep Dasar Penyakit
1.        Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronchitis kronis, emfisema dan asma. (Bruner dan Sudarth, 2002)
PPOK merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan batukmproduktif dan dispne dan terjadinya obstruksi saluran nafas sekalipun penyakit ini bersifat kronis dan merupakan ganbungan dari emfisema, bronchitis kronis maupun asma. (Rab, 2010)
PPOK merupakan kondisi irreversible yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. PPOK adalah suatu penyembatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronchitis kronis.

2.        Etiologi
Beberapa factor resiko penyebab PPOK diantaranya adalah :
a.       Asap Rokok
Penyebab utama dari PPOK adalah asap rokok, baik karena dihisap sendiri secara langsung (perokok aktif) maupun karena menghisap asap rokok orang lain (perokok pasif). Asap rokok dapat menekan sistem pertahanan saluran nafas, paralisis, pada silia, dan penurunan aktivitas makrofag alveolus, dan produksi mucus yang berlebihan sehingga terjadi obstruksi saluran nafas.
b.      Polusi udara
Berbagai macam debu, zat kimia, seta lingkungan kerja mempunyai pengaruh merugikan pada system pernafasan. Selain itu hasil sampingan bahan bakar seperti minyak tanah, batu bara, kayu bakar, dan diesel dapat menjadi factor resiko PPOK.
c.       Usia
Orang yang usianya diatas 50 tahun rentang terjadi infeks.
d.      Alergi/hipersensitif pada bronkus, pada seseorang tertentu akan lebih sensitive dengan lingkungan  dsekitanya.
e.       Infeksi slaura nafas berulang
f.       Status social ekonomi

3.        Patofisiologi
                    Merokok, salah satu penyebab PPOK, akan mengganggu kerja silia serta fungsi sel-sel makrofag dan menyebabkan inflamasi pada jalan nafas, peningkatan produksi lendir (mucus), destruksi septum alveolar serta fibrosis peribronkial. Perubahan inflamatori yang dini dapat dipulihkan jika pasien berhenti merokok sebelum penyakit paru meluas.
                    Sumbatan mucus dan penyempitan jalan nafas menyebabkan udara nafass terperangkap, seperti pada bronchitis kronis dan emfisema. Heperinflamasi terjadi pada alveoli paru ketika pasien menmghembuskan nafas keluar (ekspirasi). Pada inspirasi jalan nafas akan melebar sehingga udara dapat mengalir melalui tempat obstruksi. Pada ekspirasi, jalan nafas menjadi sempit dan aliran nafas akan terhalang. Keadaan udara nafaas yang terperangkap (yang dinamakan ball valving) umumnya terjadi pada asma dan bronchitis kronis. (Kowalak, Jennifer P.2011).
                    Pasien-pasien dengan PPOK memiliki gejala dispnea (sesak nafas) saat istirahat atau saat beraktivitas. Banyak perokok asimtomatik mengalami kelainan fungsi yang mendahului gejala-gejala, yang dapat dihindari engan berhenti merokok dini. Meskipun paling sering terjadi bersamaan, bronchitis dan emfisema kronik memiliki proses penyebab berbeda dengan tanda dan gejala yang berbeda. (Jeremi P. T. Ward, et all, 2007)
                    Patofisiologi PPOK sangatlah komplek dan komprehensif sehingga mempengaruhi semua sistem tubuh yang artinya sama juga dengan mempengaruhi gaya hidup manusia. Dalam prosesnya, penyakit ini bisa menimbulkan kerusakan pada alveolar sehingga bisa mengubah fisiologi pernafasan, kemudian mempengaruhi oksigenasi tubuh secara keseluruhan.
a.       Patofisiologi Emfisema
Pada emfisema beberapa factor penyebab obstruksi jalan nafas yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki, produksi lender yang berlebihan, kehilangan recoil elastic jalan nafas, dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan dapat mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
(scridb.com//askep ppok)

b.      Patofisiologi Bronkitis Kronik
Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lender dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lender dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lender yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernafasan. Penyempitan bronchial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotic yang terjadi dalam jalan nafas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.
(scridb.com//askep ppok)

c.       Patofisiologi asma bronchial
Asma ditandai dengan krontraksi spastic dari otot polos bronkiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul dari asma pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebegai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibody ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spresifiknya. (Tanjung, 2003)


4.        Manifestasi Klinik
Emfisema merupakan penyebab utama dari COPD dan bila hal ini terjadi maka faal paru akan semakin memburuk. Secara fisiologi pemeriksaan faal paru, emfisema dapat ditandai dengan:
a.       Volume paru yang menunjukan adanya hiperinflasi sehingga menyebabkan volume residual (RV) dan kapasitas paru total (TLC) menjadi meningkat.
b.      Terdapatnya obstruksi pada saat ekspirasi, dimana hal ini tidak terjadi pada saat inspirasi.
c.       Obstruksi yang terjadi pada saat ekspirasi ini dapat memberikan reaksi dengan obat-obatan.
d.      Elastic recoil dari paru akan menurun dan compliance dari paru akan bertambah.
e.       Terjadi gangguan pada difusi gas walaupun dalam keadaan istirahat difusi gas masih dalam keadaan stabil. Gangguan ini terutama terjadi pada difusi gas CO2. (Tabrani, 2010)
Sedangkan tanda dan gejala pada PPOK meliputi :
a.       Peningkatan dispnea (sesak nafas)
b.      Peningkatan otot-otot pernafasan
c.       Penurunan bunyi nafas
d.      Takipnea (sesak nafas)
e.       Timbul mengi
f.       Mengalami penurunan berat badan
g.      Pembengkakan kaki akibat gagal jantung
(Corwin, 2009)










6.         Komplikasi
a.       Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 <55 mmHg, dengan nilai saturasi oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalamimperubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.
b.      Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan takipnea.
c.       Infeksi respiratori
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan rangsangan otot polos brakial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja nafas dan timbulnya dispnea.
d.      Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantungkanan akibat penyakit paru ), harus diobservasi terutama pada klien dispnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e.       Kardiak Disritmia
Timbul karena hipoksemi,penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respirator.
f.       Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, sering kali tidak berespon terhadap terapi yang bisa diberikan. Pengunaan aoyo bantu pernafasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma. (Somantri, 2009).







7.         Penatalaksanaan
                    Tidak ada terapi spesifik yang memulihkan PPOK tetapi pengobatan dapat memperlambat progresi penyakit, mengurangi gejala kronik, dan mencegah eksaserbasi akut. Berhenti merokok sangat penting dilakukan.
(Jeremi P. T. Ward, et all, 2007)
                    Penatalaksanaan untuk PPOK pada umumnya sama seperti pada bronchitis kronis dan emfisema, dengan pengecualian bahwa terapi oksigen harus dipantau secara ketat. Individu pengidap PPOK mengalami hiperkapnia kronis yang menyebabkan adaptasi kemoreseptor sentral, yang dalam keadaan normal berespon terhadap karbondioksida. Factor yang menyebabkan pasien terus bernafas adalah rendahnya konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus menstimulasi kemoreseptro-kemoreseptor perifer yang relative kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila tekanan parsial oksigen arteri menurun kurang dari 50 mmHg. Dengan demikian, apabila terapi oksigen bertujuan untuk membuat tekanan parsial oksigen lebih dari 50 mmHg, dorongan untuk bernafas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanyha memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi terapi oksigen tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas hidup.

8.        Pemeriksaan Diagnostik
a.       Pengukuran Fungsi Paru
d.    Kapasitas inspirasi menurun
e.     Volume residu : meningkat pada emfisema, bronchitis, dan asma
f.     FEV1 selalu menurun : derajat obstruktif progresif penyakit paru obstruktif kronis
g.    FVC awal normal       menurun pada bronchitis dan asma
h.    TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emfisema).
Dengan spirometri sederhana akan tampak jelas penurunan VEP 1 dibandingkan dengan orang normal dengan umur dan potongan badan yang sama. Pada kaus ringan VEP 1 hanya mencapai 80% atau kurang dari normal, pada kasus berat dapat mencapai hanya 40%, atau malahan kurang. Sebaliknya kapasitas vital tak berubah banyak, bahkan sering kali masih dalam batas normal, kecuali pada stadium lanjut. Disamping VEP 1 sendiri juga aka nada penurunan ratio PEV 1/KVP.
Bila penderita diperiksa dengan Peak Flow Spirometer, maka akan terlihat penurunan Kecepatan Arus Puncak Ekspirasi Maksimal (KAEM) yang besarnya seimbang dengan penurunan VEP 1.
    
b.      Analisa Gas Darah
        Perlu diingat bahwa perjalanan bronchitis kronis lambat dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk membuat keadaan penderita betul-betul buruk. Dengan demikian, maka penurunan PaO2 serta peningkatan PaCO2 dan semua akibat sekundernya (asidosis, dll) juga akan terjadi perlahah-lahan dengan adaptasi secara maksimal dari tubuh penderita. Maka tidfaklah mengherankan bahwa kadang-kadang dapat dijumpai seorang penderita dengan PaO2  hanya sebesar 50% tetapi masih dapat melakukan pekerjaan rutin sehari-hari.
        Disamping penurunan PaO2 juga akan terjadi penurunan saturasi oksigen.

c.       Pemeriksaan Laboratorium
        Disini yang nyata adalah polisitemia, atau jumlah eritrosit yang melebihi normal, jumlah eritrosit mencapai 6.000.000 ke atas dengan Hb sekitar 17% dan hematokrit 50% keatas tidak jarang dijumpai. Hal ini adalah suatu akibat dari hipoksia kronis yang dialami penderita, dengan maksud agar oksigen yang berhasil masuk kedalam alveolus masih dapat terangkut semaksimal mungkin oleh eritrosit untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh. Bahkan sering polisitemia ini dapat jauh mendahului timbulnya keluhan sesak.

d.      Pemeriksaan Radiologis
        Foto paru pada stadium dini hamper-hampir tak menunjukkan adanya kelainan yang nyata, hanya akan tampak sedikit penambahan gambaran bronkovaskuler. Tak lama kemudian akan disusul dengan tampaknya sebagian paru yang hiperlusen, biasanya di lapangan atas atau parakardial dan bilateral.
        Pada stadium lanjut daerah hiperlusen akan meliputi seluruh paru disertai dengan berkurangnya gambaran retikuler halus (jaringan bronkus dan pembuluh darah) dan diafragma yang nyata sekali letak rendah. Pada foto lateral akan tampak dengan jelas tambahan kifose.
        Pada stadium lanjut selain kelainanparu dan rongga toraks, juga akan dijumpai kelainan jari-jari tangan karena hipoksemia kronis berupa jari tabuh dan kuku gelas arloji..
(Santoto, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar